Rabu, 02 Desember 2009

sekilas sejarah cerutu"hobi kaum elit"



JAKARTA – Ketika Christopher Columbus mendarat pertama kali tahun 1482 di Kepulauan Karibia, dia melihat upacara ritual suku Indian yang menghirup asap dari tumpukan daun tembakau lewat sebuah pipa. Mengisap asap tembakau, kala itu bagi orang Indian menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan. Konon, asap itu berkhasiat dan dapat memberi semangat.


Dari sinilah kemudian Columbus mengutus anak buahnya mencari tahu dari mana mereka mendapatkan tumbuhan tembakau. Sebagai seorang utusan raja Spanyol, tentu saja dia berpikir ini mungkin bakal jadi komoditas menarik di masa depan. Belakangan kita tahu, perkembangan dari kebiasaan orang Indian menghirup asap, menjadi tradisi kaum Barok di abad-abad setelah itu.
Lalu kapan tembakau itu disulap menjadi cerutu (cigars)? Data pasti masih samar-samar. Namun menurut Gunarwan Tenardi (50), penikmat cerutu, sekitar tahun 1800-an di Kuba ada kegiatan masyarakat di Quelta Abajo yang membuat ”rokok” dari daun tembakau yang digulung, untuk dijadikan barang dagangan yang paling dicari. Dari sinilah cerutu berkembang hingga kini.
Kuba yang memulainya, dan sampai sekarang negara tersebut tak tergoyahkan sebagai negeri penghasil cerutu bermutu. Setelah Kuba yang menduduki papan atas, menyusul Dominika, Brasil, Meksiko, Equador, Jamaica, Kepuluan Canary, Filipina dan Amerika Serikat.

Mutu Cerutu
Penentu enak atau tidaknya sebatang cerutu, menurut Gunarwan, adalah seorang ahli racik. Cerutu itu sendiri terdiri dari filler, binder dan wrapper. Peracik cerutu biasanya mengutak-atik bagian agar tercipta aroma yang diinginkan. ”Walau kita punya sayur mayur yang lengkap, tapi kokinya kurang pandai memasak, maka hasil masakannya tetap tidak enak.”
Sebenarnya Indonesia, sebagai salah satu penghasil tembakau, terwakili oleh Jember yang tembakaunya diekpor ke negara pembuat cerutu. Begitu pula tembakau Sumatera yang dipakai untuk wrapper.
Indonesia sendiri juga membuat cerutu yang diwakili oleh Jarum, Wismilak, dan Sampoerna. Namun pasarnya belum mampu menembus dominasi Cuban cigars.
”Secara kasat mata, cerutu yang baik bisa kelihatan dari warna,” kata Gunarwan. Dewasa ini cerutu dengan warna yang baik adalah merek Davidoff. Wrapper-nya berkilau (silky), daunnya halus. Begitu pula tulang daunnya.
Soal rasa pada umummnya orang mengatakan cerutu Kuba yang terbaik. Di mana-mana cerutu buatan Kuba dengan berbagai merek itu sangat disukai.
Kenapa cerutu Kuba bisa begitu, sementara yang lain tidak bisa? Ini ada alasannya karena Cuban cigars terkenal dengan triple S, yakni sun, soil dan skill. Ada contoh seperti yang terjadi pada perusahaan cerutu Davidoff. Dulu, cerutu itu memakai bahan baku (tembakau) yang tertanam di Kuba. Kemudian karena ada konflik internal, dia pindahkan imperiumnya di Jenewa. Bibit tembakau juga diboyong, namun ditanam di Dominika. ”Davidoff yang sekarang lain. Rasanya pun beda,” sambung Gunarwan.
Maka kalau sekarang ada yang mencari Davidoff Cuban, harganya bisa 2-3 kali lipat. Begitu juga merek papan atas lain, Cohiba, ada yang buatan Kuba dan Dominika.












Bau tapi Nikmat
Apa nikmatnya bercerutu padahal aromanya keras dan sering mengganggu penciuman orang yang sensitif? Bagi yang kurang suka, mencium baunya saja bisa bikin pusing kepala. Apalagi sampai tersedot asapnya, boleh jadi dia bisa kelenger. Karena itu para penggemar cerutu jika ingin mengisapnya, cenderung mencari tempat yang nyaman dan tak mengganggu orang lain.
Di beberapa negara Asia, seperti Singapura atau Hong Kong klub-klub cerutu bertumbuh bak jamur di musim hujan. Begitu juga di Indonesia, terutama di Jakarta, Bandung, dan di Pulau Bali.
Khusus di Jakarta, para penggemar cerutu seperti dimanjakan dengan kehadiran lounge di beberapa hotel berbintang, seperti di Hotel Mandarin, Hotel Borobudur, Hotel JW Marriott dan di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Di sini mereka bisa kongkow-kongkow sembari bercerutu.
Biasanya, lounge itu dilengkapi dengan aneka minuman anggur, wiski, dan cognac. Minuman keras ini disajikan karena kebiasaan pencerutu yang suka menenggak minuman keras untuk menetralkan lidahnya akibat asap cerutu.
”Teman bercerutu yang pas adalah cognac,” ujar Adiyasa Suhadibroto (35), konsultan keuangan, yang sering mampir di Churchill Cigars House di BEJ. Bagi yang hanya penikmat umum, selingan alkohol, menurut mereka memang cocok.
Bagi mereka yang fanatik, tak pernah mau mencampur aduk ”rasa” cerutu dengan minuman anggur. ”Ini bisa merusak kenikmatan orang itu bercerutu,” tutur Gunarwan Tenardi.

Komunitas Penikmat
Seberapa banyakkah komunitas penggemar cerutu di Jakarta, sehingga sampai ada sejumlah tempat ngumpul yang nyaman di hotel mewah? ”Tidak sampai seribu orang,” tutur Gunarwan yang juga General Manager Churchill Cigars House. Mereka datang dan pergi. Ada yang fanatik namun ada juga yang sekali datang, hilang. Atau ada yang malah menjadi penikmat baru.
Penggemar cerutu sebelum menyalakannya, melihat waktu yang tersisa berapa lama.. Menurut Adiyasa, biasanya mereka bercerutu sehabis makan siang, Kalau cukup waktu, biasanya mereka datang ke lounge maka dimulailah ritual pribadi itu.
Biasanya waktu tersisa habis makan siang sekitar satu jam. Maka dia harus pandai mencari jenis cerutu yang ketika diisap habis dalam sejam. Jika mengisap yang terlalu panjang, akan tersisa. Dan jika cerutu sisa ini dinyalakan kembali, rasanya sudah tak enak. ”Maka orang bercerutu harus melihat time, place dan occasion-nya dulu. Jika tidak, sama saja buang uang. Sebab sebatang cerutu ada yang harganya Rp 500.000,” Gunarwan menambahkan..
Lounge atau tempat khusus bercerutu, cerita Adiyasa, mulai ada sekitar tahun 2000-an. Sebelum ada ini, penggemar cerutu mendapatkannya dari luar negeri dan mencari tempat bercerutu juga susah, karena takut mengganggu orang lain. Tapi karena kini banyak lounge, mereka jadi suka ngumpul ke sana.
Bercerutu di dalam ruangan khusus itu bisa sampai 5-6 orang. ”Bayangkan, tiap orang punya cerutu favorit masing-masing, mengisap bersama dan baunya bercampur. Di sinilah nikmatnya.”

Kotak Khusus
Lounge ini juga memberikan servis bagi penggemar. Mereka menyediakan kotak penyimpanan khusus untuk cerutu milik pribadi. Disimpan dalam kotak yang terbuat dari kayu khusus yang tidak berbau dengan di dalamnya terpasang penunjuk kelembaban (higrometer) dan humidifier (alat pelembab yang hanya diisi air destilasi).
Menurut Gunarwan, kelembaban yang baik untuk menyimpan cerutu adalah 70. Di bawah angka itu akan menyebabkan cerutu menjadi kering. Jika cerutu sampai kering, rasanya tidak enak lagi.
Cerutu pribadi yang disimpan dalam lounge itu dirawat. Jika kotor karena ada kotoran yang menempel, cerutu itu akan dibersihkan dengan sikat halus. Jadi, pencerutu tinggal terima beres dan tahunya barangnya itu terawat.
Soal humidifier yang hanya boleh diisi air destilasi, menurut Adiyasa, itu untuk mencegah perubahan warna dari cerutu. Sebab kalau alat itu diisi air biasa maka air itu masih mengandung mineral. Kemungkinan uapnya bisa mengganggu warna dan mungkin juga rasa.
Tapi, tambah Adiyasa, sebetulnya di Indonesia tak ada problem dalam penyimpanan cerutu. Kelembabannya cukup. Istilahnya, kalau cerutu itu cuma digeletakkan dalam lemari, masih aman. ”Mereka yang menyimpan dalam kotak khusus itu, boleh disebut aksi-aksian aja. Tapi ngga ada salahnya sebab mereka mungkin takut koleksinya yang mahal-mahal itu, rusak,” ujar pengoleksi berbagai cerutu ternama itu.
Dia mengaku baru setahun ini aktif dengan hobi cerutu. Menurut pengamatannya, orang bercerutu adalah untuk mengejar rasa. Misalnya apa yang enak sehabis ‘minum,’ ternyata bercerutu. Sebab alkohol itu memberi efek khusus pada mereka yang bercerutu. Itu yang suka, tapi ada juga yang senang sambil ngopi atau pakai capuccino. Ini juga sedap.

Pembenaran
”Jangan salah, pencerutu itu nggak menghirup asap sampai ke dalam paru-paru. Asap itu hanya di mulut dan seperti dikumur-kumur,” ujar Adiyasa lagi. Menurut Joni Meraxa (42), pencerutu lainnya, kalau diisap dalam-dalam, paru-paru serasa mau meledak. Tapi dia pernah menyaksikan pencerutu di luar negeri mengisap ke dalam paru-paru. Mungkin, tambahnya, paru-paru orang Indonesia, tidak kuat.
Joni mengaku mengenal cerutu sejak tahun 1997. Ketika dia masih bekerja di bank asing di kawasan Jalan Thamrin, dia suka jalan-jalan di Hotel Mandarin. Di sanalah dia mulai mengenal lebih dekat dengan cerutu. Penggemar cerutu merek Cohiba itu tak terlalu menekuni ritual seperti penggemar lainnya yang suka mengunjungi lounge. ”Saya lebih suka mengisapnya di rumah. Itu pun sebulan 2 kali, sudah cukup,” kata direktur perusahaan solusi perbankan di kawasan Graha Niaga, Jalan Sudirman itu.
”Memang benar, pencerutu tidak menarik dalam-dalam asapnya. Cukup sampai di mulutnya. Oleh karena itu pencerutu tidak sampai ketagihan seperti halnya perokok,” ujar Gunarwan lagi. Lazimnya, pencerutu mengisap untuk enjoyment. Bagi yang ingin stop merokok, biasanya mereka transfer ke cerutu dulu, sehari 1 atau 2 stick. Biasanya akan berhasil.
Gunarwan mengaku bahwa sebelumnya dia adalah perokok berat. Tapi karena dia diserahi memegang kendali rumah cerutu di beberapa hotel dan di kawasan bisnis Jakarta, dia mulai mengurangi rokok dan beralih ke cerutu.
Sudah banyak teman-temannya yang kini tak merokok lagi, tapi beralih ke cerutu. ”Bercerutu itu paling-paling 2-3 kali sehari. Atau bahkan seminggu 2-3 kali. Kesannya memang wah, tapi orang tidak kecanduan.”
Orang bercerutu itu memang serasa lain dibanding merokok. Makanya pencerutu fanatik suka berdalih,”to smoke is human, to smoke cigars is divine.” Apakah ini hanya untuk pembenaran saja, boleh jadi begitu. Tapi yang jelas sebagai pengelola rumah cerutu, Gunarwan berusaha memberi panduan pada calon pengemar cerutu sesuai etika universal. Ibarat jika ingin berwisata ke alam, pemula itu harus memakai pemandu yang tahu medan.

Jenis Cerutu
Diakuinya cerutu adalah barang mahal dan mungkin hanya sedikit golongan yang mampu menikmati. Maka dia harus hati-hati memberi alternatif pilihan pada mereka yang baru akan memulai bercerutu. Pengalamannya selama ini menunjukkan, mereka selalu bertanya, merek apa yang enak. Cerutu ada 3 jenis yakni ringan, medium dan keras.
Pemandu harus tahu dulu apakah sebelumnya calon itu perokok atau tidak. Ini untuk memberikan suatu usulan yang baik ketika dia bercerutu nanti. Jika dia sudah biasa merokok maka langit-langitnya sudah kebal. Anjuran bagi pemula yang perokok adalah jenis cerutu yang medium.
Selain itu orang Indonesia suka makan yang pedas. Ini juga yang mempengaruhi kepekaan langit-langit mulut sehingga menjadi kebal. Kalau calon itu disarankan untuk memilih cerutu yang light, tak ada rasanya.
Menurut Gunarwan, memang ada anjuran mulailah selalu dengan yang ringan. Tapi dia berpendapat mulailah dari yang medium, karena selain kita terbiasa dengan rasa pedas, juga perokok kretek.
Jadi ingat cerita Columbus seperti ketika menemukan Indian merokok di Kepulauan Karibia. Apa yang terjadi jika Columbus ketika itu tidak mendarat di Karibia, tapi di Indonesia dan dia bertemu sekelompok ibu-ibu atau nenek-nenek sedang nyirih. Apa yang bakal terjadi? Akankah lounge itu dipenuhi yuppies yang sedang nyirih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar